Sherry duduk dalam kegelapan. Melihat ke kiri, ke kanan, tak tampak apapun. Sewarnapun. Sesuatupun. Ruangan itu bukan hall tempat orang kaya berpesta pora. Hanya ruangan sempit berdinding kayu beralas tikar. Tak siang, tak malam. Gelap. Hanya ada Sherry yang terkadang tersenyum, kemudian menangis. Suara jangkrik dan burung hantulah yang menemaninya melewati malam. Tak lupa sebuah lilin besertanya.
Seperti biasa, Sherry mengeluarkan sebatang lilin dari kantungnya. Ia coba dirikan lilin itu, tapi selalu saja jatuh. Ia dirikan, jatuh. Ia tertawa, Ia dirikan lagi, jatuh lagi, berdiri, jatuh, tawa, berdiri, jatuh, tawa, berdiri, jatuh, tawa, DIAM… Sherry terdiam. Melihat lilin jatuh, sungguh bagai Ia melihat dirinya sendiri. Muak Ia rasa.
Lelah, Ia raih sekotak korek api. Ia buka kotaknya, Ia ambil sebatang, Ia goreskan di tepi kotaknya. Ia gores, api menyala, tertiup angin, padam. Ia tertawa lagi. Telah terbiasa, Ia gores untuk kesekian kali, api menyala, dengan sigap Ia lindungi sang api dari hantaman angin yang masuk seenak hati lewat lubang ventilasi. Sherry menahan napas untuk beberapa detik dan api tetap tetap berkobar. Ia tersenyum.
Kini, tangan kirinya menggenggam sebatang lilin yang cacat tak dapat berdiri, di tangan kanan Ia pegang sebatang korek dengan api berkobar diujungnya. Perlahan, Ia satukan ujung sumbu lilin dengan yang korek api dengan api putus asa berkobar diujungnya. Mata Sherry tak bisa lepas dari prosesi penyatuan tersebut. Bola matanya bergerak seiring menjalarnya api di sumbu lilin. Dalam hitungan detik, api sudah berkobar di atas lilin. Member sedikit pancaran kehangatan dan cahaya. Itu Sherry. Wajahnya kusut tak keruan, rambutnya kasar dan berantakkan, tubuhnya mungil, kurus tak terurus. Kaos yang dikenakan seadanya. Lubang dimana-mana, kotor tak pernah dicuci bersih. Celananya? Sebuah celana pendek yang sangat amat pendek. Alas kaki? Lupakan. Tak pernah Ia kenakan alas kaki, Ia biarkan saja kaki luka tergores kerikil, hangus diatas panas, kuman beranak pinak dan orang bilang, Sherry telah gila.
Mata Sherry masih tajam menatap kobaran api. Tetap menggenggam sebatang lilin, Ia biarkan lelehannya jatuh di punggung telapaknya. Perih. Panas. Tapi Sherry bukan manusia lemah. Ia kukuh.
Waktu terus berputar. Lilin terus meleleh dan semakin pendek setiap detik. Tess…lelehan jatuh, Sherry meringis. Tess…meringis, tess…meringis, tess tess tess..terus meringis. Hingga kulitnya hitam di satu sisi akibat lelehan yang jatuh secara beraturan pada tempat yang sama. Hebatnya, mata Sherry tetap kukuh, menatap kobaran api yang melahap batang lilin seiring waktu.
Lilin sudah setengah. Suara jangkrik dan burung hantu semakin lantang terdengar. Sherry menitikkan air mata pertamanya malam itu. Hancur sudah hati dan pikirannya membayangkan hari-harinya di dunia. Mereka bilang, Sherry gila. Tapi Sherry tidak gila. Ia tahu Ia tidak gila. Yang Ia tidak tahu adalah mengapa orang-orang memandang dirinya penuh hina, mengapa anak-anak kecil senang menghujamnya dengan dengan bebatuan, mengapa orang takut saat Ia tengah berlenggok di tengah jalan, mengais sampah, mengeruk tanah dengan kuku-kukunya, tertawa, lalu menangis….lalu DIAM. Kini, Sherry meraung, air matanya terus keluar, genggamannya mengencang hingga meninggalkan bekas kuku di tubuh lilin. Namun matanya, tetap mata yang kukuh.
Ah…lilin semakin pendek, tinggal 1 cm lagi dari kulit tangan terluarnya. Diluar kebiasaannya, Ia pindahkan lilin itu ke tangan kanan. Sambil tersenyum, Ia celupkan tangan kirinya ke dalam baskom yang berisi sebuah cairan. Minyak tanah. Bau semerbak minyak menjalar kehidungnya, menembus hingga ke paru-parunya. Tertawa. Ia pindahkan lagi lilin itu ke tangan kirinya yang basah berlumur minyak.
Burung hantu bersuara semakin keras. Jangkrik semakin ribut. Sherry tertawa, tertawa, meringis, meringis, tertawa seiring lilin yang terus meleleh, meleleh, hingga sang api menyentuh telapaknya yang berlumuran minyak.
Mata Sherry tetap kukuh, memandang api yang kini terbagi dari sumbu lilin ke punggung tangannya. Sang api bak siap melahap lahan yang baru saja Ia hinggapi, asik bermain-main dan bergoyang diatasnya. Kini, tubuh Sherry berguncang hebat. Sambil terus menangis dan tertawa secara bersamaan, Ia ambil sisa minyak yang ada.
Sherry bersimpuh, mengubur dalam setiap lembar gelap dalam hidupnya sementara api terus bermain di tangannya. Ia tundukkan kepalanya, air matanya terus menetes, bibirnya terus tersenyum, matanya tetap kukuh. Dengan ringan, Ia tuangkan sisa minyak keseluruh tubuhnya..dan DIAM. Api menjalar cepat bak melahap setiap sisi tubuh Sherry. Habis sudah, bersama kelam hidupnya, sakit hatinya, ketidakanggapannya dan tetap dengan kekukuhan matanya, dalam api putus asa…
No comments:
Post a Comment