Tuesday, December 31, 2013

Di Bawah Lampu



           Ditemani sang kakak, Karin memandangi kelap kelip lampu dari gedung-gedung yang menjulang, dekorasi warna-warni yang naik turun di pepohonan tengah kota dan sesekali melirik awan mendung diatasnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam namun Karin tak kunjung mau pulang. Sang kakak yang sudah menemaninya berdiri di tepi bunderan HI selama kurang lebih 1 jam mulai merasa malu walaupun wajahnya sudah ditutupi masker serta dilengkapi dengan kacamata. Apa daya, memang sudah tugasnya menemani dan melindungi sang adik yang setiap tanggal 30 Desember ‘hobi’ memandangi situasi di tengah ramainya lalu lintas ibukota ini. Yang bisa dilakukannya hanya duduk tepat di pinggir pot tanaman, mengambil posisi senyaman mungkin, dan memastikkan bahwa punggung sang adik yang dilihatnya dari belakang tetap pada tempatnya.

            “Karin..ayo dong kita pulang yuk. Mama udah nungguin lho, udah masak juga untuk kita makan malam..”, rayu sang kakak dengan lembut. Karin tersenyum simpul, tatapan matanya masih menjelajah pemandangan dihadapannya. Mobil, pepohonan, air mancur, serta orang-orang yang berlalu lalang dengan pakaian kantornya. Tak ada jawaban sepatah katapun dari mulut Karin. Hanya erangan perlahan yang dapat dipastikan oleh sang kakak bahwa maksudnya ‘tunggu 5 menit lagi’. Sang kakak paham dan berkata, “Oke, 5 menit lagi ya. Sebelum kita disamperin polisi nih.”. Mendengar kekhawatiran sang kakak, Karin mengangguk perlahan. Sang kakak pun kembali ke pot besar yang tadi di dudukinya dan melanjutkan tugas sebagai seorang pengawas.

            “Kak, yuk pulang. Aku lapar..”,ucap Karin lirih 5 menit kemudian. “Tuh kan, apa aku bilang, harusnya kita pulang daritadi. Kelaperan kan sekarang? Aku juga laper soalnya...”, walau sedikit menggerutu, sang kakak menggandeng erat tangan Karin dan berjalan masuk ke area parkir mall terdekat. Di dalam mobil, sang kakak mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan, “jadi, tahun baru kita mau kemana nih?”, dengan penuh semangat. Wajah Karin langsung berbinar dan menoleh ke arah kakaknya yang tetap fokus melihat jalanan di depannya, “oia! Tahun baru!! Tahun ini kita bikin acara apa ya kak? Tahun baru kan pas banget sama anniversary pernikahan aku sama Abi. Dulu pertama ketemuan di acara tahun baru temen, diterus ditembak jadian pas tahun baru juga, nikah pun pas 1 Januari. Abi romantis banget kan kak...itulah kenapa tahun baru selalu jadi hari yang paling indah buat aku..”. Ekspresi kakak Karin sejenak pahit namun kemudian diobati dengan senyum menghibur. “Aduh Karin...please deh, kamu selalu ngomong itu tiap tahun. Aku bosen dengernya. Hahahha. Jadi mau ngapain kita?”. Karin tampak sejenak berpikir dan kemudian menjawab, “aku mau kita kumpul dirumah Abi. Terus main kembang api bareng. Spesial tahun ini, Abi pulang dinas tanggal 31 Desember naik pesawat pagi. Aku kangen banget kak sama Abi...nah pengennya sih bikin surprise untuk perayaan tahun barunya..”. Mendengar jawaban Karin, sang kakak menjawab, “Karin..kita nginep aja di penginapan punya kenalan temen mama di daerah Anyer. Seru kan tahun baruan di tepi pantai..gimana?”. Ternyata saran sang kakak tidak disetujui oleh Karin, “ih kakak...Abi pasti capek banget pulang dinas langsung ke pantai. Bahkan mungkin Abi baru sampai Indonesia jam 7 malam. Mau sampe jam berapa kita di Anyer? Udahlah..dirumah aja..”. Sang kakak menghela napas, pasrah. Tanpa memberi jawaban apapun, ia tetap fokus melihat jalanan dihadapannya. “daripada aku bertengkar, lebih baik aku diam.”, gumamnya dalam hati.

            Sesampainya dirumah, Karin langsung masuk ke kamar dan sang kakak duduk di samping mama yang sedang asyik menonton TV di ruang tengah. “Kemana aja Dil?”, tanya mama. “Biasa ma..rutinitas tanggal 30 Desember. Bunderan HI. 1 jam setengah berdiri disitu coba. Untung Dila udah siapin masker buat nutup muka.”,jawab Dila sedikit gusar. Mama hanya tersenyum simpul melihat kegusaran Dila. Dengan penuh kasih sayang, Ia usap lembut rambut panjang Dila dan berkata, “Mama beruntung punya kamu Dil. Apalagi setelah kejadian 3 tahun yang lalu”. Sekilas Dila menatap wajah mamanya dan jatuh dipangkuan sang mama. Terlihat sekilas sebulir air mata mengalir dari mata indah Dila, bergulir dan jatuh di celana tidur mama.

*****


NOVEMBER 2010

            Abi sedang merapikan kembali isi kopernya yang cukup besar. Disampingnya, Karin tak kalah asyik memilihkan kemeja-kemeja terbaik untuk Abi bawa pergi selama dinas. Kebetulan, Abi akan pergi dinas selama 1 bulan ke Jepang. “Kamu pulang tanggal berapa sih?”,tanya Karin sambil melipat kemeja pilihannya. “Hmm..Cuma satu bulan kok. Paling cepat tanggal 30 aku pulang. “, jawab Abi sambil melirik wajah wanita yang sudah resmi menjadi pendampingnya selama hampir 1 tahun. “Lama banget 1 bulan. Kamu tahun baruan di Jakarta kan?”,tanya Karin lagi memastikan. Abi tersenyum sambil mengangguk. Sejenak Abi tinggalkan koper yang terbuka itu dan menghampiri Karin. Dipeluknya wanita itu dan berkata, “iya kok, akhir tahun nanti kan pas anniversary pertama pernikahan kita. Walaupun Jepang lebih menyenangkan, gak mungkinlah aku ngerayain sendiri gak bareng kamu..”. Karin merasa tenang dalam pelukan Abi dan bersyukur akan kehadiran Abi di sisinya. Sejenak 1 menit mereka habiskan dalam keheningan dan saling mendekap dalam kebahagiaan.

*****

         “AAAAAAAAAA...”, suara jeritan menghantam lantang dan memecahkan kesunyian. Dila yang berada di kamar sebelah terkejut luar biasa dan bergegas berlari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Baru saja Dila keluar kamar, terdengar langkah kaki mama tengah menaiki tangga dimana kamar Karin dan Dila berada. Dila membuka pintu kamar Karin yang tak pernah dikunci dan melihat Karin tengah meraung, menangis, duduk di sudut kamar dengan rambut berantakkan. Tegak lurus dari posisi Karin, cermin di kamar terlihat miring dan sebuah buku kecil berwarna biru tertelungkup seperti habis dilempar seseorang. Dila masuk dan melangkah pelan mendekati Karin, seperti seseorang yang tidak ingin membangunkan harimau ganas dari tidurnya. “Karin...Karin...”, panggilnya perlahan. Tak ada jawaban, Karin masih menenggelamkan wajahnya di balik kedua kakinya yang dilipat. Tak lama terdengar Mama sedikit ngos-ngosan karena terburu-buru berdiri tepat di pintu kamar. Mama tak pernah sanggup melihat situasi ini. Lagipula hanya Dila yang bisa menghadapinya.   

          Dila semakin dekat dengan Karin. Tangannya menjulur hendak menyentuh kepala Karin namun tiba-tiba Karin menegakkan wajahnya dan menatap Dila dengan tajam. “BUAANG BUKU ITU, SEKARANG!!”,bentak Karin sambil menunjuk ke sebuah buku biru yang tertelungkup tadi. “Oke, nanti aku buang. Kali ini, apa yang kamu lihat?”, tanya Dila lembut menginvestigasi. “Bukan urusan kakak!! Keluar dan buang buku itu!”. Dila merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menginvestigasi. Akhirnya Dila berdiri dan mengambil buku itu serta memberikannya ke mama yang masih tertegun di depan pintu. Mama menyembunyikan buku itu di belakang punggungnya dan Dila kembali ke tempat Karin. “Karin, tidur lagi ya..nanti malam kan kita mau tahun baruan. Yuk, kamu mau aku temenin tidur?”, ucap Dila dengan suara yang sangat lembut. Kali ini, wajah Karin jauh lebih tenang. Ia memegang tangan sang kakak yang membantunya untuk berdiri. Dengan wajah yang luar biasa sedih, Karin kembali ke tempat tidur, berbaring dan diselimuti oleh Dila. Dila merayu Karin untuk kembali terlelap sampai akhirnya Karin lebih tenang dan memejamkan kedua matanya. Napasnya mulai stabil, sampai akhirnya Dila yakin Karin sudah terlelap, Dila pergi meninggalkan kamar Karin dan menutup pintunya.   

            Mama sudah tidak lagi di depan pintu. Mama sudah turun dan sekarang sedang duduk di depan televisi. Bahunya tampak berguncang, tebakan Dila, mama pasti sedang menangis. Dengan buku biru tergeletak di meja dihadapannya. “Ma...Karin sudah tidur..”,ucap Dila sambil menepuk pelan bahu mama. Masih menangis, mama memeluk Dila. Malam itu, 31 Desember 2013 pukul 2 pagi, Dila dan mama menghabiskan waktu untuk saling berpelukkan dan menangis.

*****

30 Desember 2010

              “Kamu yakin ketemuannya disini?”, tanya Dila pada Karin yang tampak cantik dengan kaos dan rok favoritnya. “Yakin dong kak...aku emang janjian disini kok. Abi kan romantis. Bayangin, dia minta dijemput pulang dinas aja di tempat waktu dia nembak aku pertama kali jadi pacar.”. Dila paham benar betapa cheesy-nya si Abi, kekasih adik kesayangannya itu. Berbeda dengan Dila, Karin jauh lebih luluh dengan rayuan maut atau hal-hal romantis lainnya. Sayangnya, Dila jauh lebih tomboy. Bunga, hari jadian, dan candle light dinner tidak pernah ada dalam sejarah kisah percintaan Dila. 

          “Udah satu jam nih Karin...lama banget. Orang mah jemput di bandara kali. Sekalian bikin adegan pertemuan ala video klipnya Taylor Swift yang Ours itu. Lebih romantis kan tuh diliatin banyak orang kaya film korea.”, ucap Dila mulai gusar karena bosan menemani adiknya berdiri di tempat yang sama selama 1 jam. “Dih..sabar dong kak. Kaya gitu sih juga romantis, Cuma ini jauh lebih bermakna. Udah gak ketemu sebulan, terus ketemu lagi di tempat yang sama persis waktu dia datang bawa bunga terus minta aku jadi pacarnya. Bahkan Abi minta ketemunya di tempat berdiri yang sama, di bawah lampu jalan ini.”, jelas Karin sambil senyum-senyum karena teringat kisah masa lalunya dengan Abi. “Ya tapi yang bener aja Kariiiinn!! Kaya gitu aja dibilang romantis! Kalo di restoran iya bener romantis.. lah ini ditembak di bunderan HI, di pinggir jalan, dibawah lampu pula. Gila...kalah film korea kalo gini..”. Mendengar kata-kata Dila, Karin hanya senyum, masih yakin kalau kisah cinta dia dengan Abi adalah kisah paling romantis di seluruh dunia. 

*****

          “Ma..kak..udah pada siap belom? Aku udah siap nih.. ayo buruan. Kita kan masih harus kerumah keluarganya Abi dulu untuk bantu masak.”, ucap Karin yang sudah rapi dengan dress kuning selutut dan beberapa kantong disampingnya berisi bahan-bahan masakkan yang nantinya akan diolah. Dila sebenarnya sudah siap untuk pergi. Namun, Dila memilih mengulur waktu di kamar dan menunjukkan ke Karin kalau dia masih bersiap-siap. Dila duduk di depan cermin riasnya. Untuk sejenak, tatapan matanya kosong sampai kemudian terdengar suara adik kesayangannya berteriak memanggil dari luar. Sambil memegang erat buku biru itu, Dila menatap cermin dan tak kuasa menahan tangis. Perlahan bahunya mulai berguncang, tangannya gemetar dan meremas ujung buku biru itu. Dila membuka buku itu, walaupun sudah tahu apa yang menyebabkan Karin mendadak histeris di pagi buta tadi malam. 

          Buku itu ada buku harian Karin. Buku harian tempat Karin menceritakan kehidupannya yang, selalu dikatakannya, bahagia. Karin ialah seorang adik yang benar-benar manis. Ia perhatian pada Ibu nya yang merupakan seorang single mother dan sayang luar biasa pada Dila, kakak satu-satunya. Karin yang ceria juga merupakan seorang anak yang kreatif, hobi menggambar dan sangat ekspresif. Walaupun waktunya banyak habis menonton film drama dan mendengarkan lagu-lagu cinta yang penuh kata kiasan, Karin selalu bersyukur dan selalu berkata bahwa hidupnya sempurna walau tanpa Ayah dalam keluarga. Buku harian itu tampak menarik. Penuh tempelan foto, stiker dan kata-kata yang ditulisnya dengan rapi. 10 halaman pertama adalah kisah pertemuannya dengan Abi. Karin mengenal Abi sejak SMP dan menjadi sahabat dekat hingga SMA. Hingga kemudian Abi menyatakan perasaannya pada Karin pada malam tahun baru, dibawah lampu, di tepi jalan Bunderan HI. Saat itu mereka tengah merayakan tahun baru bersama dengan teman-teman sekelasnya waktu SMA. Karin mengusap foto kecil yang tertempel di buku, sebuah foto polaroid dengan wajah bahagia Karin dan Abi di dalamnya, dibawah remang lampu jalan. Tepat di tepi bawah foto, tertulis : 1 Januari 2003, saat aku menemukan cahaya hidup, begitupun dengan Abi.   

         Dibuka lagi dengan perlahan, lembar demi lembar buku itu. Seluruh hal kecil dikisahkan. Payung terbang terbawa angin saat jalan dengan Abi, ulang tahun Abi, Abi dan Karin saat berkunjung ke pameran buku, saat Karin pertama kali belajar masak untuk bikin makan siang Abi. Satu hal yang Dila pahami, bahwa buku ini 95% berkisah tentang Abi. Yang seringkali diucapkan Karin sebagai pelengkap kebahagiaan hidupnya. Di lembar berikutnya pun, ada foto polaroid lainnya di dalam buku. Tampak Karin basah kuyup, berantakkan, warna baju tak karuan dan terlihat wajah iseng Abi berdiri di sampingnya. Dila tau benar, itu adalah foto waktu Karin berulangtahun. Sebelumnya, Abi sudah bekerja sama dengan Dila dan mama untuk menjahili Karin yang biasanya memang jahil. Dila tersenyum simpul, tetap dengan air mata yang berjalan di pipinya. Dila bisa mengingatnya dengan jelas, bahkan saat Karin dikerjai habis-habisan, dia tak pernah marah. 14 September 2005: Mama, kakak dan Abi ngerjain aku abis-abisan. Tunggu ya pembalasanku! 

           Dila tak lagi melihat waktu dan masih asik membuka halaman demi halaman buku itu. Pintu kamar sudah dikunci, jaga-jaga kalau tiba-tiba Karin masuk dan melihat Dila membuat buku biru itu. Kemudian, Dila berhenti di halaman itu. Halaman yang diyakininya menjadi penyebab mengapa Karin menjadi histeris tadi malam. Foto polaroid di dalamnya pasti terlihat oleh Karin. Di depan foto ini, Dila menangis kembali. Bahunya berguncang lebih hebat dan napasnya terbata-bata, sedikit sesak karena menahan suara tangis. Ia pandangi catatan kecil di atas foto itu : 1 Januari 2012, Aku dan Abi, selamanya. Di dalam foto, seorang gadis cantik tengah mengenakan kebaya indah berwarna pink dan di sebelahnya seorang pria gagah mengenakan baju adat. Senyum keduanya menjelaskan bahwa hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidup mereka. Dengan bangga, keduanya memamerkan buku nikah dan cincin kawin di jari masing-masing. Tersenyum, menatap lurus ke kamera, dan sorot matanya berkata “hidupku sudah sempurna”. Pada detik itu, lamunan Dila terhenti. Karin, entah sudah keberapa kalinya, menggedor pintu kamar Dila sambil memanggil kakaknya. 

*****


31 Desember 2010 

           Telepon genggam Karin berbunyi lantang. Mendengar ringtone-nya, Karin sudah tahu pasti siapa yang meneleponnya. “Abii!! Aku udah dijalan mau kerumah keluargamu ya. Aku sama kakak dan mama nih. Udah siap bawa makanan juga untuk dimasak. Kamu dimana?”. Suara dari seberang menjawab, “Karin, nanti kalau sudah selesai masak, kamu ke bunderan HI ya. Di bawah lampu.”. Karin tertawa. “Ngapain Bi? Masa sih kita anniversary 1 tahun dibawah lampu. Maksudnya romantis sih iya, tapi kan gak dibawah lampu juga. Hahahaha.”. Abi juga membalas dengan tawa kecil dan berkata, “ngga perlu tahun baruan disitu kok..kita ketemu jam 10 malem aja. Lagian rumahku deket situ juga..kerumah juga gak nyampe 15 menit dari bunderan HI.”. Karin setuju dan kemudian menutup telponnya. “Yaelah...kalian drama banget sih. Dikit-dikit ke bawah lampu. Kaya film India ih, kurang ujan doang”, komentar Dila melihat kelakuan pasangan adik dan adik iparnya ini. Karin sudah kebal mendengar komentar kakaknya dan meresponnya dengan tawa kecil. Tak lama, keluar respon keramat sang adik pada Dila, “aduh kak, kasian banget sih, kisah cinta itu gak seru kalo gak romantis. Gak pernah digituin ya?”, ledek Karin. Mendengar komentar itu, Dila hanya bisa mendelik dan menerima nasib bawah sampai detik ini, Ia bahkan belum punya pacar. 

           Terlihat suasana rumah orangtua Abi ramai malam itu. Mama dan mama mertuanya sedang asik memasak di dapur sambil dibantu oleh Dila. Abi punya 2 adik perempuan berusia 15 dan 10 tahun. Kedua adiknya sedang asyik menata peralatan makan di meja makan. Tampak seluruh keluarga sibuk menyiapkan malam tahun baru sekaligus anniversary pertama pernikahan Karin dan Abi. Karin yang sedang memotong buah-buahan untuk dibikin es buah, mendengar sayup-sayup handphonenya berbunyi dari dalam tas yang diletakkan di dekat meja makan. Bergegas Karin membasuh tangannya di wastafel dan mengeringkan dengan lap disampingnya. Buru-buru Karin mengangkat telepon dan berkata, “ya Bi?”, tanya Karin lembut. “Karin, aku udah disini. Kamu kesini sekarang aja deh ya..”, ucap Abi. Bisa terdengar dibelakang suara Abi ada suara mesin mobil dan motor yang lalu lalang. “Lho? Ini kan baru jam 8 Bi..cepet banget..”, tanya Karin heran. “Iya, udah buruan kesini, aku udah siapin sesuatu nih..”, jawab Abi lagi. Mendengar kata-kata tersebut, Karin tersenyum lebar dan menjawab, “oke..tunggu aku ya.. 10 menit!”. 

          “Lho? Mau kemana Karin?”, tanya mama Abi heran melihat mantunya asik menyemprotkan minyak wangi, membawa tas nya, dan memasukkan sebuah box kecil ke dalam tas. “Abi ma..harusnya sih janjian jam 10, tapi dia barusan nelepon sekarang aja.”, jelas Karin. Mendengar jawaban adiknya dan respon bingung mama, Dila sontak menjawab, “biasalah ma...ke bawah lampu. Yang katanya jadi tempat paling romantis di Jakarta, bahkan di dunia. Anak lebay emang!”. Karin melirik tajam sekilas ke kakaknya dan menambahkan, “bukan Cuma di dunia kak, di seluruh jagad alam semesta!”. Mendengar jawaban ini mama Karin, mertuanya dan Karin tertawa lucu sementara Dila masih kebingungan bagaimana mungkin sebuah lampu jalan bisa menjadi sebuah tempat paling romantis di jagad raya.

           Karin tak bisa berhenti tersenyum. Hanya rasa syukur yang bisa diucapkannya atas wujud rasa syukur akan kebahagiaan dalam hidupnya selama ini. Seorang mama yang hebat, mama mertua yang luar biasa sayang padanya, seorang kakak yang walaupun kadang menyebalkan tapi perhatian dan yang paling penting Abi, seseorang yang sudah dikenalnya lebih dari 10 tahun. Seseorang yang resmi menjadi pelabuhan terakhirnya pada tahun lalu, tanggal 1 Januari 2010. Ditengah indahnya khayalan nostalgia Karin, handphone nya kembali berdering. Deringnya masih menandakan dari orang yang sama, suaminya, Abi. Walaupun sebenarnya Karin tidak suka menerima telepon saat ia menyetir mobil, ia kali ini memutuskan untuk menerimanya. “Halo Bi?”. Namun diseberang bukan Abi. Itu buka suara yang biasa didengar Karin. Cara bicaranya berbeda dan jelas suara itu tidak setenang suara Abi biasanya. Karin heran bukan main. “Selamat malam, ini dengan Karin?”,tanya suara diseberang. “Ng..iya. maaf ini siapa ya? Kok nelpon pakai nomor suami saya? Ada apa?”. Sambil keheranan, Karin tetap menyetir dan seharusnya ia sudah sampai di bawah lampu. Namun suasana tahun baru membuat jalanan di hadapannya sedikit macet. Tapi tunggu dulu, bunderan HI sudah terlihat dan sepertinya ada keramaian yang tak biasa. “Maaf mbak Karin, suami anda kecelakaan.”. Lidah Karin kelu, tatapan matanya kosong, dan reaksi pertamanya Ia gerakan jemarinya sambil mengelus lembut cincin yang diberikan Abi saat hari pernikahannya.

*****

          “Lho? Mau kemana Karin?”, tanya mama Abi heran melihat mantunya asik menyemprotkan minyak wangi, membawa tas nya, dan memasukkan sebuah box kecil ke dalam tas. “Abi ma..harusnya sih janjian jam 10, tapi dia barusan nelepon sekarang aja.”, jelas Karin. Jawaban Karin kali ini memberikan reaksi yang luar biasa berbeda dari 3 tahun yang lalu. Mendengar jawaban itu, mama Abi hanya terdiam. Mama Karin menahan untuk tidak menangis dan memilih membalikkan badan. Dila tak bereaksi. Begitupun kedua adik Abi yang sudah dewasa, mereka saling menatap satu sama lain dengan penuh makna. “Kalian kok gitu sih reaksinya? Malam ini kan malam aku anniversary sama Abi. Kok ekspresi mama malah suram?”, ucap Karin lembut sambil tersenyum. Ingin sekali rasanya mama melarang Karin untuk keluar, tapi kata yang terucap, “hati-hati di jalan ya nak”. 


          Tepat 3 menit setelah Karin pergi, bergegas seisi rumah panik dan buru-buru masuk ke mobil satu lagi supaya tak kehilangan jejak Karin. Dila duduk di bangku supir, ditemani mamanya, dan mama Abi serta kedua adiknya duduk di bangku tengah. Mobil itu sunyi, setiap anggota keluarga hanya mampu terdiam dan tak bisa banyak berkomentar. Tak lama, mereka bisa melihat sosok Karin berdiri di bawah lampu. Berdiri menunggu kedatangan Abi. Mereka tidak keluar dari mobil, hanya memantau Karin dari tepi jalan terdekat dan bersiap-siap kalau sesuatu terjadi. Karin berdiri tegak dibawah lampu, dengan dress kuning selutut serta tas berisikan hadiah ulangtahun pernikahan untuk Abi, sumber kebahagiaannya. 

          Karin melirik jam tangannya dan masih yakin bahwa Abi akan datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 kurang 5 menit, tinggal selangkah lagi menuju tahun baru. Tak lama, Karin tersenyum lebar dan melambaikan tangannya pada orang di seberang. “ABIIIII!!!”, panggil Karin pada sosok itu. Dari kejauhan, Karin bisa melihat dengan jelas bahwa Abi membalas lambaian tangannya. Abi berusaha menyebrang jalan raya yang besar itu tapi mobil-mobil berlalu lalang terlalu cepat. Dari jauh, Abi memberikan aba-aba dengan tangannya agar Karin tetap berdiri disitu, pada tempatnya. Karin mengangguk nurut sambil terus menatap sosok kekasihnya di seberang jalan, tepat di bunderan HI.   

          Bunderan HI malam itu ramai. Anak-anak muda memilih keluar menikmati kota Jakarta di malam hari dengan teman-temannya ketimbang dengan keluarga di rumah. Beberapa orang lainnya memang pergi sekeluarga dan berlalu lalang disana. Malam tahun baru ini, walikota Jakarta memutuskan untuk mengadakan pesta kembang api tepat pada pukul 12 malam secara serentak di beberapa sudut penting kota Jakarta termasuk bunderan HI, monas dan kota tua. Tak heran malam itu banyak orang yang memang sudah siap berdiri menunggu kembang api yang tinggal 3 menit lagi.

         “Aduh, Abi kok nyebrang aja lama banget sih. ABII!!!!”, teriak Karin lagi pada sosok diseberangnya. Beberapa orang disekitar Karin merasa heran dan menatapnya dengan tatapan menyudutkan. Karin tak perduli, yang paling penting, ia bisa bertemu dan memeluk Abi tepat pada hari ulangtahun pernikahannya. Merasa tak sabaran, Karin melangkah menuruni trotoar. Melihat gelagat ini, sontak Dila berlari keluar dari mobil. Semakin Dila mendekat, semakin dekat pula Karin dengan jalanan. Dila memeluk Karin dari belakang hingga sebuah motor nyaris menyerempetnya. “KARIN!!!”,jerit Dila. Melihat sosok kakaknya, Karin gusar, “kakak ngapain sih? Itu Abi, orang-orang pelit banget sih masa Abi ga dikasih nyebrang daritadi.”. Sedih mendengar jawaban Karin, Dila berkata “KARIN! Lihat baik-baik kesana. Gak ada Abi disitu. Abi sudah ga ada!”. Mendengar kalimat Dila, mata Karin tajam. Seolah seekor harimau terbangun dan tak seorang pun bisa menghentikkan amukkannya. “LEPASIN TANGANKU! SEKARANG!”,bentak Karin. Tak perduli semarah apapun Karin, Dila tetap menggenggam erat tangan Karin. Kali ini, Karin benar-benar mengamuk. Ditendangnya Dila dan Karin berlari kesana, ketempat Abi berdiri , kemudian memeluknya. 

          Suara terakhir yang Karin dengar adalah suara rem mobil, teriakkan orang-orang dan suara Dila memanggil namanya sambil menangis. Kini Karin menatap wajah Abi yang bersinar dihadapannya. Senyum Abilah yang bisa membahagiakan Karin. Sambil menyentuh cincin pernikahan di jemari Abi, Karin berkata lirih, “Selamat Tahun Baru, sayang. Selamat ulang tahun pernikahan...yang pertama.”. Air mata bahagia bergulir di pipi Karin yang sudah berlumuran darah dan senyum Karin saat itu adalah senyum yang sama dengan foto polaroid di buku biru, saat Karin mengenakan kebaya pink dan Abi disampingnya terlihat gagah dengan baju adatnya.

*****

          Dila duduk di depan meja rias, bukan meja rias kamarnya melainkan meja rias kamar adik kesayangannya. Sambil membuka kembali lembar demi lembar buku harian itu, Dila tak henti-hentinya mengucapkan doa. Dila menatap foto polaroid pernikahan itu kembali dan menemukan sebuah catatan kecil di ujung kertas yang semula tak terlihat. Dila yakin benar sebelumnya catatan yang sangat kecil itu ada. Sambil mengusap kedua pipinya, Dila mendekatkan buku itu hingga tulisan kecil tersebut dapat dibaca : Kak Dila, you will find your own destiny soon. I love you, kak. Dila pun semakin tak kuasa menahan tangisnya.Buku biru itu nyaris habis lembaran kosongnya 

          Dila memutuskan tak ingin meratap terlalu lama atas kepergian adik kesayangannya. Dila pun meraih sebuah pulpen di meja dan membuka lembaran kosong paling terakhir di buku harian itu. Sambil menarik napas dan menguatkan hati, Dila menggoreskan tintanya pada kertas:

Dear, Karin 

Mudah-mudahan kamu bahagia ya. Pada akhirnya, kamu bisa kembali bahagia karena bisa merayakan tahun baru dan anniversary sama-sama dengan Abi disana. Sudah 3 tahun sejak kamu akhirnya mengalami skizofrenia dan selalu berhalusinasi tentang Abi. Sekarang, Abi bukan sekedar jadi halusinasi! This is your happy ending, kamu kembali bersatu dengan Abi, satu-satunya orangyang kamu sebut sebagai pelengkap kebahagiaan hidupmu.

With love,

Dila

***SELESAI***