Wednesday, May 28, 2014

Are you dare enough?


"Here's to the crazy ones. The misfits. The rebels. The troublemakers. 
The round pegs in the square holes. The ones who see things differently. 
They're not fond of rules. And they have no respect for the status quo. 
You can quote them, disagree with them, glorify or vilify them. 
About the only thing you can't do is ignore them. Because they change things.
 They push the human race forward. While some may see them as the crazy ones, we see genius. Because the people who are crazy enough to think they can change the world are the ones who do."

-Steve P.Jobs-

Rangkaian kalimat diatas merupakan penutup dari sebuah buku biografi Steve Jobs yang ditulis oleh Patricia Lakin, dengan judul, "Thinking Differently". Saya sendiri memaknai kisah Steve Jobs yang menurut saya cukup 'gila' sebagai sebuah inspirasi. Bagaimana Ia memandang hidup dan menghabiskan nyaris seluruh waktunya untuk melakukan sesuatu menggunakan hatinya.

Tepat setelah saya selesai membaca buku ini, keesokan harinya saya makan siang dengan seorang rekan kerja yang tepat pada hari itu menjadi hari terakhirnya bekerja. Kami menghabiskan waktu istirahat dengan obrol-obrolan yang bisa dianggap sebagai curhat. Akhirnya, Ia menceritakan alasan jelas mengapa Ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Lengkap dengan setitik airmata dan seluruh rasa yang campuraduk tak jelas bentuknya.

Saya menyimak setiap kalimat yang terucap dari mulutnya dan memutuskan untuk memberikan sebuah tepukan meriah di dalam hati sambil berkata, "You've chose it right!". Kenapa? Karena membuat sebuah keputusan itu tak pernah mudah. Pastinya melalui masa pertimbangan yang panjang, nasihat kiri-kanan, struggling antara kebutuhan dan keinginan. Pernah mengalami hal yang sama, saya mengakui bahwa memilih antara kebutuhan dan keinginan adalah salah satu hal tersulit yang pernah ada.

Saya menepuk pundaknya dan berkata "Itu pilihan yang tepat". Melihat keberaniannya untuk memilih, saya pun teringat dengan sepotong kalimat Steve Jobs yang Ia sampaikan dalam pidatonya untuk Stanford University:

"Remembering that I'll be dead soon is the most important tool 
I've ever encountered to help me make the big choices in life...
Remembering that you are going to die is the best way I know 
to avoid the trap of thinking you have something to lose..
There is no reason not to follow your heart.
Your time is limited, so don't waste it living someone else's life."

Bahkan Steve Jobs berkata bahwa di pagi hari seringkali Ia berdiri di cermin dan bertanya pada dirinya sendiri, "Jika hari ini adalah hari terakhir saya hidup, apakah saya ingin jadi saya yang sekarang?". Jika hatinya berkata 'tidak', maka sesuatu dalam hidupnya harus dirubah. Entah kenapa, kisah tersebut terus menempel di benak saya. Kembali mengingatkan diri saya akan hal-hal yang ingin saya lakukan dan mimpi-mimpi saya yang belum tercapai. Steve Jobs pun cukup 'memukul' saya hingga akhirnya saya ingat bahwa saya punya banyak mimpi yang harus diraih. I'm on my way!

Saya pun membagi kisah Steve Jobs tersebut pada teman tersebut semata-mata untuk meyakinkan dia bahwa memilih untuk apa yang inginkan tak pernah salah, apapun resikonya. I've been there before, exactly the same feeling. Saat saya membutuhkan waktu nyaris 3 bulan hanya untuk membuat satu buah keputusan. Saat banyak orang memberikan nasihat yang cukup bertentangan dengan keputusan saya sementara minoritas lainnya mengacungkan jempolnya sebagai wujud apresiasi atas usaha saya untuk memilih. Well, pada akhirnya, walaupun saya mengabaikan nasihat-nasihat bijak yang hilir-mudik di telinga saya, termasuk orangtua saya sendiri, saya tidak pernah menyesal dengan keputusan saya. Kalau dipikir-pikir, I just did what Steve P Jobs did! I do follow my heart and it feels amazingly great!

Kehidupan terus berputar dan jarum menit tak pernah diam di angka yang sama. Saat manusia memilih, maka akan ada pilihan-pilihan lainnya lagi yang kerap kali datang. Setiap memilih, akan terlihat sejauh mana kita memperjuangkan prinsip tersebut. Kemudian, sejauh mana saya mampu memperjuangkan daftar mimpi yang tercatat jelas dalam Dream Board saya dan serentetan pilihan lainnya di benak saya? Tak bisa dipungkiri, di sudut hati saya yang paling dalam, saya masih bergelut dengan dua kata: kebutuhan atau keinginan.

Steve P. Jobs membuktikan pada dunia, well setidaknya pada diri saya, bahwa Ia berhasil memperjuangkan 'keinginan' hingga akhir hidupnya. Walaupun banyak resiko yang harus ditanggung, pada akhirnya Steve Jobs melengkapi kebutuhannya dengan melakukan segala yang Ia inginkan. Sounds great, huh?

Seluruh rangkaian kisah ini kemudian menimbulkan satu pertanyaan di benak saya yang hingga detik ini jawabannya masih jadi misteri untuk diri saya sendiri: 
"So, how far will I go for doing something that I really want?". 


-END-

*lil notes:
  Silakan tanyakan pertanyaan terakhir tersebut pada diri kalian.
  Did you find out your the answer? ;)

Here I am, write and share.
*cheers!!

Sarita :)