Thursday, May 23, 2013

Sebuah tulisan: Indah Dibalik Hujan


Aku terduduk merenung dengan secangkir kopi hangat di beranda kamar rumahku. Sudah kurang lebih tiga jam hujan turun dengan derasnya, seolah hadir melengkapi segala kegelisahan yang tengah berkecamuk dalam benak kecilku. Pandanganku kosong menatap sesuatu yang tak tampak di ujung batas garis pandang. Sesekali hujan yang turun terlihat seperti sedang menari karena dihembus angin. Sesekali pula senyumku hadir dan melesap dalam hitungan detik.

Di atas meja kecil disampingku, tergeletak ipod yang mengalunkan lagu “Quando, quando, quando” dari Michael Buble. Setelah satu tarikan nafas, akupun meneguk kopi hangat itu dan membiarkannya mengalir, menghangatkan tubuh yang sudah dibalut sweater kebesaran.

Tahukah kamu? Suasana itu adalah suasana yang sempurna atas apa yang dirasakan. Bisakah dibayangkan bahwa kini, aku sama dengan rintik air yang membasahi bumi saat ini. Terjatuh, terombang-ambing oleh angin saat hendak mencapai tanah air. Terlalu sama dengan yang lain sementara aku ingin menjadi rintik hujan yang berwarna-warni. Dan lihat pohon itu. Walaupun aku diombang-ambing angin, aku bersyukur bahwa aku masih berdiri dan belum sampai dititik kejatuhan. Seperti pohon tua itu, yang walaupun dihempas angin kencang, Ia masih berdiri gagah walau harus membiarkan beberapa daunnya gugur dan terbawa arus angin.

Hey, coba lihat langitnya! Mendung tak terkira. Kehilangan cahaya matahari sementara seolah tahu bahwa kini akupun tengah kehilangan cahaya yang serupa. Kupandangi pula anak kecil berkaki pincang di ujung komplek rumah ku yang buru-buru berlari pulang untuk mencari kehangatan dengan penuh perjuangan. Lamban, terseok-seok. Peluhnya menyatu dengan air hujan yang jatuh.Tak perduli sakit, yang Ia tahu Ia sampai di istana peristirahatannya.

Apa yang kulihat seolah mendeskripsikan hal-hal yang campur aduk dalam pikiranku kini. Tanpa arah. Berdiri di tempat. Terombang-ambing. Tak beridentitas.

Dan lihat! Hujan tiba-tiba saja berhenti. Si anak pincang menatap langit dan tersenyum senang. Pepohonan terlihat segar akibat sisa air seperti kristal diatas dedaunan. Matahari sedikit muncul dibalik awan yang perlahan-lahan membiru. Kopi hangat membawaku pada sebuah senyuman. Kalian tahu bagian paling indahnya? Selalu ada pelangi yang muncul setelah kelamnya suasanya hujan.



Meja kantor,
Selasa, 23 April 2013
11:33 AM

Sedikit cuap tentang Hari Bumi


Hari Bumi. Jika banyak orang mengatakan “selamat” saat Hari Bumi, saya lebih suka menjadikan Hari Bumi sebagai peringatan kepada seluruh manusia. Melihat kondisi alam bumi yang kini sudah tak sama lagi dengan dulu, tinggal tugas manusia lah untuk menjaganya semaksimal mungkin dengan kondisi yang ada sekarang sehingga tidak menjadi lebih buruk. Saya sih tidak muluk-muluk, let’s just start from the most simple things, sampah.

Sering terlihat betapa mudahnya orang-orang meletakkan bungkus permen atau tissue atau sampah kecil lainnya di sembarang tempat. Katanya, “ah..ini kan sampah kecil”. Dan kalau saja ada 1000 orang di Jakarta yang berpikiran sama, maka terkumpullah 1000 sampah kecil yang nyatanya jadi tidak ‘kecil’. Itu baru 1000, belum lagi lebih. Apalagi kalau di hitung se Indonesia. Okay, that’s just my simple thought.

Saya pun melakukan sedikit research di beberapa website mengenai hal ini. Menurut sebuah artikel di Okezone.com yang muncul pada tahun 2012, disebutkan bahwa kira-kira jumlah sampah di Jakarta mencapai 6.500 ton per hari. Sementara di artikel lainnya, disebutkan bahwa masih ada sekitar 2000 M3 sampah yang belum terangkut di Jakarta. Bahkan disebutkan bahwa kira-kira penduduk Jakarta bisa membangun 1 candi borobudur dari sampah setiap 2 hari. Jadi, tak heran jika Jakarta mengalami masalah dengan kebanjiran dengan salah satu penyebabnya, sampah.

Melihat kondisi Jakarta yang seringkali banjir di musim hujan, saya pun tidak menanggapinya secara repot. Bagi saya, banjir di Jakarta itu adalah kombinasi antara daerah serapan yang kurang akibat pembangunan, tata kota yang kurang rapi dan (lagi-lagi) sampah. Maka, saya sebagai warga semaksimal mungkin menjaganya dengan tidak membuang sampah sembarangan. Kalau pemikiran di paragraf atas kita putar balikkan, ada 1000 orang di Jakarta yang berpikiran sama dengan saya, mudah-mudahan Jakarta jadi lebih terjaga dan terbebas dari sampah.

So, jadikan Hari Bumi sebagai media instrospeksi terutama warga Jakarta untuk lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mari kita mulai dari membuang sampah pada tempatnya!

*cheers!

Sarita :)