Kalau dipikir-pikir, sebenarnya manusia
memang tak pernah luput dari kata ‘percaya-gak percaya’. Contohnya, saat kita
bertanya apa apa kamu percaya hantu? Beberapa akan menjawab “ya…percaya-gak
percaya sih”. Atau mungkin saat suku Maya meramalkan bahwa tanggal 21 Desember
2012 kemarin adalah akhir dari dunia, beberapa orang juga menjawab “percaya-gak
percaya”. Begitupun jika kita bicara tentang topik lainnya seperti reinkarnasi
atau mati suri.
Tulisan saya kali ini masih seputar tentang
“percaya-gak percaya”. Sedikit berbeda dengan yang di atas, yang berikutnya
akan saya ceritakan ialah apa yang saya alami. Tentang bagaimana manusia
percaya dengan manusia lainnya dan ketidakpercayaan. Mungkin saja kalian, para
pembaca, pernah mengalami hal yang sama.
Malam itu, saya merasa lelah luar biasa
setelah akhirnya sampai kembali di Jakarta sepulangnya dari puncak untuk acara
field trip paduan suara kampus. Karena faktor lelah, barang bawaan yang banyak
dan waktu yang sudah memasuki pukul 7 malam, saya pun memutuskan untuk pulang
naik taksi dari kampus untuk alas an keamanan jika dibandingkan dengan naik
bis. Kebayang harus naik turun bis, di terminal seorang diri, bawa-bawa gitar
dan ransel. Saya pun memberhentikan taksi yang dikenal orang dengan kualitas
keamanan yang baik di depan kampus.
Terlepas dari pemikiran negatif akan
banyaknya kasus kriminal yang terkait dengan angkutan umum baik setara angkot
ataupun taksi, saya pun dengan tenang naik taksi dan segera menghafal nomor
taksi tersebut (untuk berjaga-jaga). Di perjalanan, saat saya hampir terlelap,
supir taksi pun membuka pembicaraan. Cerita si supir taksi diawali dengan kasus
penipuan yang ia alami. Menurut ceritanya, hari itu si supir taksi baru saja
ditipu seorang wanita. Wanita yang merupakan seorang penumpang berhenti di
suatu tempat dan bilang ke supir taksi untuk tunggu karena Ia mau pergi ke
toilet sebentar. Percayalah si supir taksi karena wanita tersebut meninggalkan clutch
bag-nya di dalam taksi. Si supir taksi pun menunggu hingga 1 jam, tapi si
penumpang tak kunjung kembali. Seseorang pun berkata pada supir taksi untuk cek
dompet yang ditinggalkan. Begitu dibuka, ternyata dompet tersebut kosong tak
berisi sama sekali. Kasihan si supir taksi, harus menutupi kekurangan biaya
tersebut yang kurang lebih 50ribuan.
Cerita tersebut mengawali cerita masa lalu
si supir taksi. Bahwa dulu supir taksi itu ialah seorang supir angkot yang
kemudian memutuskan untuk jadi supir taksi karena ingin merubah nasib. Katanya
uang penghasilan jadi supir taksi jauh lebih baik daripada jadi tukang angkot.
Ceritapun merembet tentang bagaimana pengalaman pak supir taksi tentang
pencopet-pencopet di angkot selama Ia jadi supir angkot. Dengan penuh minat
saya menyimak cerita supir taksi tersebut karena saya pun sudah kuranglebih 5
kali jadi korban baik pencopetan atau penodongan di angkot. Saya pun simpati
bahwa ternyata, dibalik seluruh kisah kriminalitas supir angkutan, ternyata
bapak supir yang satu ini bukan seperti supir lainnya yang saya banyak dengar
di berita-berita.
Sesampailah dirumah, ceritalah saya dengan
orang rumah dengan kisah bapak supir taksi yang baik hati namun naas karena
ditipu penumpang. Tetapi apa reaksinya? “Hati-hati, yang kaya gitu ntar Cuma
buat ambil simpati aja tuh supaya dikasih uang lebih”. Saya pun bingung total
dan bertanya-tanya dalam benak saya. Bagaimana bisa supir taksi yang baik hati
ternyata justru malah membawa kecurigaan bagi orang lain?
Cerita saya diatas merupakan sebuah fakta
bahwa pada kenyataannya terkadang sulit bagi manusia untuk saling mempercayai
satu sama lain. Tetapi bagi saya, bukannya tidak waspada, sebisa mungkin
hindari pikiran-pikiran negatif. Bagaimana relasi antar manusia bisa berjalan
dengan baik jika tidak ada rasa kepercayaan satu sama lain? Saya tidak tahu
apakah kamu setuju dengan saya bahwa si supir taksi baik hati itu memang sedang
apes atau bahkan kamu lebih memilih berpendapat bahwa itu hanya akalan si supir
taksi untuk mengambil simpati orang lain. Yang pasti, menurut saya, basic
harmonisasi kehidupan antara manusia didukung (salah satunya) oleh factor
kepercayaan.
Saya bisa membayangkan, bagaimana jika kita
hidup sebagai manusia namun penuh akan kecurigaan terhadap orang lain? Menurut
saya, hal itu justru hanya menyiksa ketentraman diri saya sendiri saja. Mau naik
angkot, lirik orang sekitar bawaannya curiga, was was dan cemas. Naik taksi,
bis atau ojek jadi deg-deg an karena takut dibawa kabur. Ke supermarket seorang
diri jadi lirik kiri-kanan karena takut tiba-tiba disergap dari belakang.
Pemikiran-pemikiran seperti itu yang menurut saya justru menyiksa diri sendiri
dan malah akan memancing terjadinya hal tersebut pada diri kita.
Akan lebih menyenangkan jika kita
berpositif ria. Waspada itu memang perlu, tetapi bukan berarti waspada membawa
kita pada pemikiran-pemikiran negatif tentang orang lain yang bahkan kita
sendiri belum kenal.
So, selamat ber-positif ria dan tetap
waspada! :D
*cheers,
Sarita
No comments:
Post a Comment