Friday, February 15, 2013

"percaya - gak percaya"

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya manusia memang tak pernah luput dari kata ‘percaya-gak percaya’. Contohnya, saat kita bertanya apa apa kamu percaya hantu? Beberapa akan menjawab “ya…percaya-gak percaya sih”. Atau mungkin saat suku Maya meramalkan bahwa tanggal 21 Desember 2012 kemarin adalah akhir dari dunia, beberapa orang juga menjawab “percaya-gak percaya”. Begitupun jika kita bicara tentang topik lainnya seperti reinkarnasi atau mati suri.

Tulisan saya kali ini masih seputar tentang “percaya-gak percaya”. Sedikit berbeda dengan yang di atas, yang berikutnya akan saya ceritakan ialah apa yang saya alami. Tentang bagaimana manusia percaya dengan manusia lainnya dan ketidakpercayaan. Mungkin saja kalian, para pembaca, pernah mengalami hal yang sama.

Malam itu, saya merasa lelah luar biasa setelah akhirnya sampai kembali di Jakarta sepulangnya dari puncak untuk acara field trip paduan suara kampus. Karena faktor lelah, barang bawaan yang banyak dan waktu yang sudah memasuki pukul 7 malam, saya pun memutuskan untuk pulang naik taksi dari kampus untuk alas an keamanan jika dibandingkan dengan naik bis. Kebayang harus naik turun bis, di terminal seorang diri, bawa-bawa gitar dan ransel. Saya pun memberhentikan taksi yang dikenal orang dengan kualitas keamanan yang baik di depan kampus.

Terlepas dari pemikiran negatif akan banyaknya kasus kriminal yang terkait dengan angkutan umum baik setara angkot ataupun taksi, saya pun dengan tenang naik taksi dan segera menghafal nomor taksi tersebut (untuk berjaga-jaga). Di perjalanan, saat saya hampir terlelap, supir taksi pun membuka pembicaraan. Cerita si supir taksi diawali dengan kasus penipuan yang ia alami. Menurut ceritanya, hari itu si supir taksi baru saja ditipu seorang wanita. Wanita yang merupakan seorang penumpang berhenti di suatu tempat dan bilang ke supir taksi untuk tunggu karena Ia mau pergi ke toilet sebentar. Percayalah si supir taksi karena wanita tersebut meninggalkan clutch bag-nya di dalam taksi. Si supir taksi pun menunggu hingga 1 jam, tapi si penumpang tak kunjung kembali. Seseorang pun berkata pada supir taksi untuk cek dompet yang ditinggalkan. Begitu dibuka, ternyata dompet tersebut kosong tak berisi sama sekali. Kasihan si supir taksi, harus menutupi kekurangan biaya tersebut yang kurang lebih 50ribuan.

Cerita tersebut mengawali cerita masa lalu si supir taksi. Bahwa dulu supir taksi itu ialah seorang supir angkot yang kemudian memutuskan untuk jadi supir taksi karena ingin merubah nasib. Katanya uang penghasilan jadi supir taksi jauh lebih baik daripada jadi tukang angkot. Ceritapun merembet tentang bagaimana pengalaman pak supir taksi tentang pencopet-pencopet di angkot selama Ia jadi supir angkot. Dengan penuh minat saya menyimak cerita supir taksi tersebut karena saya pun sudah kuranglebih 5 kali jadi korban baik pencopetan atau penodongan di angkot. Saya pun simpati bahwa ternyata, dibalik seluruh kisah kriminalitas supir angkutan, ternyata bapak supir yang satu ini bukan seperti supir lainnya yang saya banyak dengar di berita-berita.

Sesampailah dirumah, ceritalah saya dengan orang rumah dengan kisah bapak supir taksi yang baik hati namun naas karena ditipu penumpang. Tetapi apa reaksinya? “Hati-hati, yang kaya gitu ntar Cuma buat ambil simpati aja tuh supaya dikasih uang lebih”. Saya pun bingung total dan bertanya-tanya dalam benak saya. Bagaimana bisa supir taksi yang baik hati ternyata justru malah membawa kecurigaan bagi orang lain?

Cerita saya diatas merupakan sebuah fakta bahwa pada kenyataannya terkadang sulit bagi manusia untuk saling mempercayai satu sama lain. Tetapi bagi saya, bukannya tidak waspada, sebisa mungkin hindari pikiran-pikiran negatif. Bagaimana relasi antar manusia bisa berjalan dengan baik jika tidak ada rasa kepercayaan satu sama lain? Saya tidak tahu apakah kamu setuju dengan saya bahwa si supir taksi baik hati itu memang sedang apes atau bahkan kamu lebih memilih berpendapat bahwa itu hanya akalan si supir taksi untuk mengambil simpati orang lain. Yang pasti, menurut saya, basic harmonisasi kehidupan antara manusia didukung (salah satunya) oleh factor kepercayaan.

Saya bisa membayangkan, bagaimana jika kita hidup sebagai manusia namun penuh akan kecurigaan terhadap orang lain? Menurut saya, hal itu justru hanya menyiksa ketentraman diri saya sendiri saja. Mau naik angkot, lirik orang sekitar bawaannya curiga, was was dan cemas. Naik taksi, bis atau ojek jadi deg-deg an karena takut dibawa kabur. Ke supermarket seorang diri jadi lirik kiri-kanan karena takut tiba-tiba disergap dari belakang. Pemikiran-pemikiran seperti itu yang menurut saya justru menyiksa diri sendiri dan malah akan memancing terjadinya hal tersebut pada diri kita.

Akan lebih menyenangkan jika kita berpositif ria. Waspada itu memang perlu, tetapi bukan berarti waspada membawa kita pada pemikiran-pemikiran negatif tentang orang lain yang bahkan kita sendiri belum kenal.

So, selamat ber-positif ria dan tetap waspada! :D

*cheers,

Sarita


No comments:

Post a Comment