Ditemani
sang kakak, Karin memandangi kelap kelip lampu dari gedung-gedung yang
menjulang, dekorasi warna-warni yang naik turun di pepohonan tengah kota dan
sesekali melirik awan mendung diatasnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam
namun Karin tak kunjung mau pulang. Sang kakak yang sudah menemaninya berdiri
di tepi bunderan HI selama kurang lebih 1 jam mulai merasa malu walaupun
wajahnya sudah ditutupi masker serta dilengkapi dengan kacamata. Apa daya,
memang sudah tugasnya menemani dan melindungi sang adik yang setiap tanggal 30
Desember ‘hobi’ memandangi situasi di tengah ramainya lalu lintas ibukota ini.
Yang bisa dilakukannya hanya duduk tepat di pinggir pot tanaman, mengambil
posisi senyaman mungkin, dan memastikkan bahwa punggung sang adik yang
dilihatnya dari belakang tetap pada tempatnya.
“Karin..ayo dong kita pulang yuk.
Mama udah nungguin lho, udah masak juga untuk kita makan malam..”, rayu sang
kakak dengan lembut. Karin tersenyum simpul, tatapan matanya masih menjelajah
pemandangan dihadapannya. Mobil, pepohonan, air mancur, serta orang-orang yang
berlalu lalang dengan pakaian kantornya. Tak ada jawaban sepatah katapun dari
mulut Karin. Hanya erangan perlahan yang dapat dipastikan oleh sang kakak bahwa
maksudnya ‘tunggu 5 menit lagi’. Sang kakak paham dan berkata, “Oke, 5 menit
lagi ya. Sebelum kita disamperin polisi nih.”. Mendengar kekhawatiran sang
kakak, Karin mengangguk perlahan. Sang kakak pun kembali ke pot besar yang tadi
di dudukinya dan melanjutkan tugas sebagai seorang pengawas.
“Kak, yuk pulang. Aku lapar..”,ucap
Karin lirih 5 menit kemudian. “Tuh kan, apa aku bilang, harusnya kita pulang
daritadi. Kelaperan kan sekarang? Aku juga laper soalnya...”, walau sedikit
menggerutu, sang kakak menggandeng erat tangan Karin dan berjalan masuk ke area
parkir mall terdekat. Di dalam mobil, sang kakak mengawali pembicaraan dengan
sebuah pertanyaan, “jadi, tahun baru kita mau kemana nih?”, dengan penuh
semangat. Wajah Karin langsung berbinar dan menoleh ke arah kakaknya yang tetap
fokus melihat jalanan di depannya, “oia! Tahun baru!! Tahun ini kita bikin
acara apa ya kak? Tahun baru kan pas banget sama anniversary pernikahan aku
sama Abi. Dulu pertama ketemuan di acara tahun baru temen, diterus ditembak
jadian pas tahun baru juga, nikah pun pas 1 Januari. Abi romantis banget kan
kak...itulah kenapa tahun baru selalu jadi hari yang paling indah buat aku..”.
Ekspresi kakak Karin sejenak pahit namun kemudian diobati dengan senyum
menghibur. “Aduh Karin...please deh, kamu selalu ngomong itu tiap tahun. Aku bosen
dengernya. Hahahha. Jadi mau ngapain kita?”. Karin tampak sejenak berpikir dan
kemudian menjawab, “aku mau kita kumpul dirumah Abi. Terus main kembang api
bareng. Spesial tahun ini, Abi pulang dinas tanggal 31 Desember naik pesawat
pagi. Aku kangen banget kak sama Abi...nah pengennya sih bikin surprise untuk
perayaan tahun barunya..”. Mendengar jawaban Karin, sang kakak menjawab, “Karin..kita
nginep aja di penginapan punya kenalan temen mama di daerah Anyer. Seru kan
tahun baruan di tepi pantai..gimana?”. Ternyata saran sang kakak tidak
disetujui oleh Karin, “ih kakak...Abi pasti capek banget pulang dinas langsung
ke pantai. Bahkan mungkin Abi baru sampai Indonesia jam 7 malam. Mau sampe jam
berapa kita di Anyer? Udahlah..dirumah aja..”. Sang kakak menghela napas,
pasrah. Tanpa memberi jawaban apapun, ia tetap fokus melihat jalanan
dihadapannya. “daripada aku bertengkar, lebih baik aku diam.”, gumamnya dalam
hati.
*****
NOVEMBER 2010
*****
“AAAAAAAAAA...”, suara jeritan menghantam lantang
dan memecahkan kesunyian. Dila yang berada di kamar sebelah terkejut luar biasa
dan bergegas berlari untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Baru saja Dila
keluar kamar, terdengar langkah kaki mama tengah menaiki tangga dimana kamar
Karin dan Dila berada. Dila membuka pintu kamar Karin yang tak pernah dikunci
dan melihat Karin tengah meraung, menangis, duduk di sudut kamar dengan rambut
berantakkan. Tegak lurus dari posisi Karin, cermin di kamar terlihat miring dan
sebuah buku kecil berwarna biru tertelungkup seperti habis dilempar seseorang.
Dila masuk dan melangkah pelan mendekati Karin, seperti seseorang yang tidak
ingin membangunkan harimau ganas dari tidurnya. “Karin...Karin...”, panggilnya
perlahan. Tak ada jawaban, Karin masih menenggelamkan wajahnya di balik kedua
kakinya yang dilipat. Tak lama terdengar Mama sedikit ngos-ngosan karena
terburu-buru berdiri tepat di pintu kamar. Mama tak pernah sanggup melihat
situasi ini. Lagipula hanya Dila yang bisa menghadapinya.
Dila semakin dekat dengan Karin. Tangannya menjulur
hendak menyentuh kepala Karin namun tiba-tiba Karin menegakkan wajahnya dan menatap
Dila dengan tajam. “BUAANG BUKU ITU, SEKARANG!!”,bentak Karin sambil menunjuk
ke sebuah buku biru yang tertelungkup tadi. “Oke, nanti aku buang. Kali ini,
apa yang kamu lihat?”, tanya Dila lembut menginvestigasi. “Bukan urusan kakak!!
Keluar dan buang buku itu!”. Dila merasa ini bukan waktu yang tepat untuk
menginvestigasi. Akhirnya Dila berdiri dan mengambil buku itu serta
memberikannya ke mama yang masih tertegun di depan pintu. Mama menyembunyikan
buku itu di belakang punggungnya dan Dila kembali ke tempat Karin. “Karin,
tidur lagi ya..nanti malam kan kita mau tahun baruan. Yuk, kamu mau aku temenin
tidur?”, ucap Dila dengan suara yang sangat lembut. Kali ini, wajah Karin jauh
lebih tenang. Ia memegang tangan sang kakak yang membantunya untuk berdiri. Dengan
wajah yang luar biasa sedih, Karin kembali ke tempat tidur, berbaring dan diselimuti
oleh Dila. Dila merayu Karin untuk kembali terlelap sampai akhirnya Karin lebih
tenang dan memejamkan kedua matanya. Napasnya mulai stabil, sampai akhirnya Dila
yakin Karin sudah terlelap, Dila pergi meninggalkan kamar Karin dan menutup
pintunya.
Mama sudah tidak lagi di depan pintu. Mama sudah turun dan sekarang sedang duduk di depan televisi. Bahunya tampak berguncang, tebakan Dila, mama pasti sedang menangis. Dengan buku biru tergeletak di meja dihadapannya. “Ma...Karin sudah tidur..”,ucap Dila sambil menepuk pelan bahu mama. Masih menangis, mama memeluk Dila. Malam itu, 31 Desember 2013 pukul 2 pagi, Dila dan mama menghabiskan waktu untuk saling berpelukkan dan menangis.
*****
30 Desember 2010
“Kamu yakin ketemuannya disini?”,
tanya Dila pada Karin yang tampak cantik dengan kaos dan rok favoritnya. “Yakin
dong kak...aku emang janjian disini kok. Abi kan romantis. Bayangin, dia minta
dijemput pulang dinas aja di tempat waktu dia nembak aku pertama kali jadi
pacar.”. Dila paham benar betapa cheesy-nya si Abi, kekasih adik kesayangannya
itu. Berbeda dengan Dila, Karin jauh lebih luluh dengan rayuan maut atau
hal-hal romantis lainnya. Sayangnya, Dila jauh lebih tomboy. Bunga, hari
jadian, dan candle light dinner tidak pernah ada dalam sejarah kisah percintaan
Dila.
“Udah satu jam nih Karin...lama banget. Orang mah
jemput di bandara kali. Sekalian bikin adegan pertemuan ala video klipnya
Taylor Swift yang Ours itu. Lebih romantis kan tuh diliatin banyak orang kaya
film korea.”, ucap Dila mulai gusar karena bosan menemani adiknya berdiri di
tempat yang sama selama 1 jam. “Dih..sabar dong kak. Kaya gitu sih juga romantis,
Cuma ini jauh lebih bermakna. Udah gak ketemu sebulan, terus ketemu lagi di
tempat yang sama persis waktu dia datang bawa bunga terus minta aku jadi
pacarnya. Bahkan Abi minta ketemunya di tempat berdiri yang sama, di bawah
lampu jalan ini.”, jelas Karin sambil senyum-senyum karena teringat kisah masa
lalunya dengan Abi. “Ya tapi yang bener aja Kariiiinn!! Kaya gitu aja dibilang
romantis! Kalo di restoran iya bener romantis.. lah ini ditembak di bunderan
HI, di pinggir jalan, dibawah lampu pula. Gila...kalah film korea kalo gini..”.
Mendengar kata-kata Dila, Karin hanya senyum, masih yakin kalau kisah cinta dia
dengan Abi adalah kisah paling romantis di seluruh dunia.
*****
“Ma..kak..udah pada siap belom? Aku udah siap nih..
ayo buruan. Kita kan masih harus kerumah keluarganya Abi dulu untuk bantu
masak.”, ucap Karin yang sudah rapi dengan dress kuning selutut dan beberapa
kantong disampingnya berisi bahan-bahan masakkan yang nantinya akan diolah.
Dila sebenarnya sudah siap untuk pergi. Namun, Dila memilih mengulur waktu di
kamar dan menunjukkan ke Karin kalau dia masih bersiap-siap. Dila duduk di
depan cermin riasnya. Untuk sejenak, tatapan matanya kosong sampai kemudian
terdengar suara adik kesayangannya berteriak memanggil dari luar. Sambil
memegang erat buku biru itu, Dila menatap cermin dan tak kuasa menahan tangis.
Perlahan bahunya mulai berguncang, tangannya gemetar dan meremas ujung buku
biru itu. Dila membuka buku itu, walaupun sudah tahu apa yang menyebabkan Karin
mendadak histeris di pagi buta tadi malam.
Buku itu ada buku harian Karin. Buku harian tempat
Karin menceritakan kehidupannya yang, selalu dikatakannya, bahagia. Karin ialah
seorang adik yang benar-benar manis. Ia perhatian pada Ibu nya yang merupakan
seorang single mother dan sayang luar biasa pada Dila, kakak satu-satunya.
Karin yang ceria juga merupakan seorang anak yang kreatif, hobi menggambar dan
sangat ekspresif. Walaupun waktunya banyak habis menonton film drama dan
mendengarkan lagu-lagu cinta yang penuh kata kiasan, Karin selalu bersyukur dan
selalu berkata bahwa hidupnya sempurna walau tanpa Ayah dalam keluarga. Buku
harian itu tampak menarik. Penuh tempelan foto, stiker dan kata-kata yang
ditulisnya dengan rapi. 10 halaman pertama adalah kisah pertemuannya dengan
Abi. Karin mengenal Abi sejak SMP dan menjadi sahabat dekat hingga SMA. Hingga kemudian
Abi menyatakan perasaannya pada Karin pada malam tahun baru, dibawah lampu, di
tepi jalan Bunderan HI. Saat itu mereka tengah merayakan tahun baru bersama
dengan teman-teman sekelasnya waktu SMA. Karin mengusap foto kecil yang
tertempel di buku, sebuah foto polaroid dengan wajah bahagia Karin dan Abi di
dalamnya, dibawah remang lampu jalan. Tepat di tepi bawah foto, tertulis : 1
Januari 2003, saat aku menemukan cahaya hidup, begitupun dengan Abi.
Dibuka lagi dengan perlahan, lembar demi lembar
buku itu. Seluruh hal kecil dikisahkan. Payung terbang terbawa angin saat jalan
dengan Abi, ulang tahun Abi, Abi dan Karin saat berkunjung ke pameran buku,
saat Karin pertama kali belajar masak untuk bikin makan siang Abi. Satu hal
yang Dila pahami, bahwa buku ini 95% berkisah tentang Abi. Yang seringkali
diucapkan Karin sebagai pelengkap kebahagiaan hidupnya. Di lembar berikutnya pun,
ada foto polaroid lainnya di dalam buku. Tampak Karin basah kuyup, berantakkan,
warna baju tak karuan dan terlihat wajah iseng Abi berdiri di sampingnya. Dila
tau benar, itu adalah foto waktu Karin berulangtahun. Sebelumnya, Abi sudah
bekerja sama dengan Dila dan mama untuk menjahili Karin yang biasanya memang
jahil. Dila tersenyum simpul, tetap dengan air mata yang berjalan di pipinya.
Dila bisa mengingatnya dengan jelas, bahkan saat Karin dikerjai habis-habisan,
dia tak pernah marah. 14 September 2005: Mama, kakak dan Abi ngerjain aku
abis-abisan. Tunggu ya pembalasanku!
Dila tak lagi melihat waktu dan masih asik
membuka halaman demi halaman buku itu. Pintu kamar sudah dikunci, jaga-jaga
kalau tiba-tiba Karin masuk dan melihat Dila membuat buku biru itu. Kemudian,
Dila berhenti di halaman itu. Halaman yang diyakininya menjadi penyebab mengapa
Karin menjadi histeris tadi malam. Foto polaroid di dalamnya pasti terlihat
oleh Karin. Di depan foto ini, Dila menangis kembali. Bahunya berguncang lebih
hebat dan napasnya terbata-bata, sedikit sesak karena menahan suara tangis. Ia
pandangi catatan kecil di atas foto itu : 1 Januari 2012, Aku dan Abi,
selamanya. Di dalam foto, seorang gadis cantik tengah mengenakan kebaya indah
berwarna pink dan di sebelahnya seorang pria gagah mengenakan baju adat. Senyum
keduanya menjelaskan bahwa hari itu adalah hari paling bahagia dalam hidup
mereka. Dengan bangga, keduanya memamerkan buku nikah dan cincin kawin di jari
masing-masing. Tersenyum, menatap lurus ke kamera, dan sorot matanya berkata “hidupku
sudah sempurna”. Pada detik itu, lamunan Dila terhenti. Karin, entah sudah
keberapa kalinya, menggedor pintu kamar Dila sambil memanggil kakaknya.
*****
31 Desember 2010
Telepon genggam Karin berbunyi
lantang. Mendengar ringtone-nya, Karin sudah tahu pasti siapa yang
meneleponnya. “Abii!! Aku udah dijalan mau kerumah keluargamu ya. Aku sama
kakak dan mama nih. Udah siap bawa makanan juga untuk dimasak. Kamu dimana?”.
Suara dari seberang menjawab, “Karin, nanti kalau sudah selesai masak, kamu ke
bunderan HI ya. Di bawah lampu.”. Karin tertawa. “Ngapain Bi? Masa sih kita
anniversary 1 tahun dibawah lampu. Maksudnya romantis sih iya, tapi kan gak
dibawah lampu juga. Hahahaha.”. Abi juga membalas dengan tawa kecil dan
berkata, “ngga perlu tahun baruan disitu kok..kita ketemu jam 10 malem aja.
Lagian rumahku deket situ juga..kerumah juga gak nyampe 15 menit dari bunderan
HI.”. Karin setuju dan kemudian menutup telponnya. “Yaelah...kalian drama
banget sih. Dikit-dikit ke bawah lampu. Kaya film India ih, kurang ujan doang”,
komentar Dila melihat kelakuan pasangan adik dan adik iparnya ini. Karin sudah
kebal mendengar komentar kakaknya dan meresponnya dengan tawa kecil. Tak lama,
keluar respon keramat sang adik pada Dila, “aduh kak, kasian banget sih, kisah
cinta itu gak seru kalo gak romantis. Gak pernah digituin ya?”, ledek Karin.
Mendengar komentar itu, Dila hanya bisa mendelik dan menerima nasib bawah
sampai detik ini, Ia bahkan belum punya pacar.
Terlihat suasana rumah orangtua Abi ramai malam
itu. Mama dan mama mertuanya sedang asik memasak di dapur sambil dibantu oleh
Dila. Abi punya 2 adik perempuan berusia 15 dan 10 tahun. Kedua adiknya sedang
asyik menata peralatan makan di meja makan. Tampak seluruh keluarga sibuk
menyiapkan malam tahun baru sekaligus anniversary pertama pernikahan Karin dan
Abi. Karin yang sedang memotong buah-buahan untuk dibikin es buah, mendengar
sayup-sayup handphonenya berbunyi dari dalam tas yang diletakkan di dekat meja
makan. Bergegas Karin membasuh tangannya di wastafel dan mengeringkan dengan
lap disampingnya. Buru-buru Karin mengangkat telepon dan berkata, “ya Bi?”,
tanya Karin lembut. “Karin, aku udah disini. Kamu kesini sekarang aja deh ya..”,
ucap Abi. Bisa terdengar dibelakang suara Abi ada suara mesin mobil dan motor
yang lalu lalang. “Lho? Ini kan baru jam 8 Bi..cepet banget..”, tanya Karin
heran. “Iya, udah buruan kesini, aku udah siapin sesuatu nih..”, jawab Abi
lagi. Mendengar kata-kata tersebut, Karin tersenyum lebar dan menjawab, “oke..tunggu
aku ya.. 10 menit!”.
“Lho? Mau kemana Karin?”, tanya mama Abi heran
melihat mantunya asik menyemprotkan minyak wangi, membawa tas nya, dan
memasukkan sebuah box kecil ke dalam tas. “Abi ma..harusnya sih janjian jam 10,
tapi dia barusan nelepon sekarang aja.”, jelas Karin. Mendengar jawaban adiknya
dan respon bingung mama, Dila sontak menjawab, “biasalah ma...ke bawah lampu. Yang
katanya jadi tempat paling romantis di Jakarta, bahkan di dunia. Anak lebay
emang!”. Karin melirik tajam sekilas ke kakaknya dan menambahkan, “bukan Cuma di
dunia kak, di seluruh jagad alam semesta!”. Mendengar jawaban ini mama Karin,
mertuanya dan Karin tertawa lucu sementara Dila masih kebingungan bagaimana
mungkin sebuah lampu jalan bisa menjadi sebuah tempat paling romantis di jagad
raya.
Karin tak bisa berhenti tersenyum. Hanya rasa
syukur yang bisa diucapkannya atas wujud rasa syukur akan kebahagiaan dalam
hidupnya selama ini. Seorang mama yang hebat, mama mertua yang luar biasa
sayang padanya, seorang kakak yang walaupun kadang menyebalkan tapi perhatian
dan yang paling penting Abi, seseorang yang sudah dikenalnya lebih dari 10
tahun. Seseorang yang resmi menjadi pelabuhan terakhirnya pada tahun lalu, tanggal
1 Januari 2010. Ditengah indahnya khayalan nostalgia Karin, handphone nya
kembali berdering. Deringnya masih menandakan dari orang yang sama, suaminya,
Abi. Walaupun sebenarnya Karin tidak suka menerima telepon saat ia menyetir
mobil, ia kali ini memutuskan untuk menerimanya. “Halo Bi?”. Namun diseberang
bukan Abi. Itu buka suara yang biasa didengar Karin. Cara bicaranya berbeda dan
jelas suara itu tidak setenang suara Abi biasanya. Karin heran bukan main. “Selamat
malam, ini dengan Karin?”,tanya suara diseberang. “Ng..iya. maaf ini siapa ya?
Kok nelpon pakai nomor suami saya? Ada apa?”. Sambil keheranan, Karin tetap
menyetir dan seharusnya ia sudah sampai di bawah lampu. Namun suasana tahun
baru membuat jalanan di hadapannya sedikit macet. Tapi tunggu dulu, bunderan HI
sudah terlihat dan sepertinya ada keramaian yang tak biasa. “Maaf mbak Karin,
suami anda kecelakaan.”. Lidah Karin kelu, tatapan matanya kosong, dan reaksi
pertamanya Ia gerakan jemarinya sambil mengelus lembut cincin yang diberikan
Abi saat hari pernikahannya.
*****
“Lho? Mau kemana Karin?”, tanya mama Abi heran
melihat mantunya asik menyemprotkan minyak wangi, membawa tas nya, dan
memasukkan sebuah box kecil ke dalam tas. “Abi ma..harusnya sih janjian jam 10,
tapi dia barusan nelepon sekarang aja.”, jelas Karin. Jawaban Karin kali ini
memberikan reaksi yang luar biasa berbeda dari 3 tahun yang lalu. Mendengar
jawaban itu, mama Abi hanya terdiam. Mama Karin menahan untuk tidak menangis
dan memilih membalikkan badan. Dila tak bereaksi. Begitupun kedua adik Abi yang
sudah dewasa, mereka saling menatap satu sama lain dengan penuh makna. “Kalian
kok gitu sih reaksinya? Malam ini kan malam aku anniversary sama Abi. Kok ekspresi
mama malah suram?”, ucap Karin lembut sambil tersenyum. Ingin sekali rasanya
mama melarang Karin untuk keluar, tapi kata yang terucap, “hati-hati di jalan
ya nak”.
Tepat 3 menit setelah Karin pergi, bergegas seisi rumah panik dan
buru-buru masuk ke mobil satu lagi supaya tak kehilangan jejak Karin. Dila
duduk di bangku supir, ditemani mamanya, dan mama Abi serta kedua adiknya duduk
di bangku tengah. Mobil itu sunyi, setiap anggota keluarga hanya mampu terdiam
dan tak bisa banyak berkomentar. Tak lama, mereka bisa melihat sosok Karin
berdiri di bawah lampu. Berdiri menunggu kedatangan Abi. Mereka tidak keluar
dari mobil, hanya memantau Karin dari tepi jalan terdekat dan bersiap-siap
kalau sesuatu terjadi. Karin berdiri tegak dibawah lampu, dengan dress kuning
selutut serta tas berisikan hadiah ulangtahun pernikahan untuk Abi, sumber
kebahagiaannya.
Karin melirik jam tangannya dan masih yakin bahwa
Abi akan datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 kurang 5 menit, tinggal
selangkah lagi menuju tahun baru. Tak lama, Karin tersenyum lebar dan
melambaikan tangannya pada orang di seberang. “ABIIIII!!!”, panggil Karin pada
sosok itu. Dari kejauhan, Karin bisa melihat dengan jelas bahwa Abi membalas
lambaian tangannya. Abi berusaha menyebrang jalan raya yang besar itu tapi
mobil-mobil berlalu lalang terlalu cepat. Dari jauh, Abi memberikan aba-aba
dengan tangannya agar Karin tetap berdiri disitu, pada tempatnya. Karin
mengangguk nurut sambil terus menatap sosok kekasihnya di seberang jalan, tepat
di bunderan HI.
Bunderan HI malam itu ramai. Anak-anak muda memilih
keluar menikmati kota Jakarta di malam hari dengan teman-temannya ketimbang
dengan keluarga di rumah. Beberapa orang lainnya memang pergi sekeluarga dan
berlalu lalang disana. Malam tahun baru ini, walikota Jakarta memutuskan untuk
mengadakan pesta kembang api tepat pada pukul 12 malam secara serentak di
beberapa sudut penting kota Jakarta termasuk bunderan HI, monas dan kota tua.
Tak heran malam itu banyak orang yang memang sudah siap berdiri menunggu
kembang api yang tinggal 3 menit lagi.
“Aduh, Abi kok nyebrang aja lama banget sih.
ABII!!!!”, teriak Karin lagi pada sosok diseberangnya. Beberapa orang disekitar
Karin merasa heran dan menatapnya dengan tatapan menyudutkan. Karin tak perduli,
yang paling penting, ia bisa bertemu dan memeluk Abi tepat pada hari ulangtahun
pernikahannya. Merasa tak sabaran, Karin melangkah menuruni trotoar. Melihat
gelagat ini, sontak Dila berlari keluar dari mobil. Semakin Dila mendekat,
semakin dekat pula Karin dengan jalanan. Dila memeluk Karin dari belakang
hingga sebuah motor nyaris menyerempetnya. “KARIN!!!”,jerit Dila. Melihat sosok
kakaknya, Karin gusar, “kakak ngapain sih? Itu Abi, orang-orang pelit banget
sih masa Abi ga dikasih nyebrang daritadi.”. Sedih mendengar jawaban Karin,
Dila berkata “KARIN! Lihat baik-baik kesana. Gak ada Abi disitu. Abi sudah ga
ada!”. Mendengar kalimat Dila, mata Karin tajam. Seolah seekor harimau
terbangun dan tak seorang pun bisa menghentikkan amukkannya. “LEPASIN TANGANKU!
SEKARANG!”,bentak Karin. Tak perduli semarah apapun Karin, Dila tetap
menggenggam erat tangan Karin. Kali ini, Karin benar-benar mengamuk. Ditendangnya
Dila dan Karin berlari kesana, ketempat Abi berdiri , kemudian memeluknya.
Suara terakhir yang Karin dengar adalah suara rem
mobil, teriakkan orang-orang dan suara Dila memanggil namanya sambil menangis.
Kini Karin menatap wajah Abi yang bersinar dihadapannya. Senyum Abilah yang
bisa membahagiakan Karin. Sambil menyentuh cincin pernikahan di jemari Abi,
Karin berkata lirih, “Selamat Tahun Baru, sayang. Selamat ulang tahun
pernikahan...yang pertama.”. Air mata bahagia bergulir di pipi Karin yang sudah
berlumuran darah dan senyum Karin saat itu adalah senyum yang sama dengan foto
polaroid di buku biru, saat Karin mengenakan kebaya pink dan Abi disampingnya
terlihat gagah dengan baju adatnya.
*****
Dila duduk di depan meja rias, bukan meja rias
kamarnya melainkan meja rias kamar adik kesayangannya. Sambil membuka kembali
lembar demi lembar buku harian itu, Dila tak henti-hentinya mengucapkan doa.
Dila menatap foto polaroid pernikahan itu kembali dan menemukan sebuah catatan
kecil di ujung kertas yang semula tak terlihat. Dila yakin benar sebelumnya
catatan yang sangat kecil itu ada. Sambil mengusap kedua pipinya, Dila
mendekatkan buku itu hingga tulisan kecil tersebut dapat dibaca : Kak Dila, you
will find your own destiny soon. I love you, kak. Dila pun semakin tak kuasa
menahan tangisnya.Buku biru itu nyaris habis lembaran kosongnya
Dila memutuskan tak ingin meratap terlalu lama atas
kepergian adik kesayangannya. Dila pun meraih sebuah pulpen di meja dan membuka
lembaran kosong paling terakhir di buku harian itu. Sambil menarik napas dan
menguatkan hati, Dila menggoreskan tintanya pada kertas:
Dear, Karin
Mudah-mudahan
kamu bahagia ya. Pada akhirnya, kamu bisa kembali bahagia karena bisa merayakan
tahun baru dan anniversary sama-sama dengan Abi disana. Sudah 3 tahun sejak
kamu akhirnya mengalami skizofrenia dan selalu berhalusinasi tentang Abi.
Sekarang, Abi bukan sekedar jadi halusinasi! This is your happy ending, kamu
kembali bersatu dengan Abi, satu-satunya orangyang kamu sebut sebagai pelengkap kebahagiaan hidupmu.
With love,
Dila
***SELESAI***